𝘖𝘭𝘦𝘩 : 𝘈𝘯𝘥𝘪 𝘔𝘢𝘱𝘱𝘦𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘔𝘚
Caleg DPR RI Dapil NTB 1 Pulau Sumbawa dari PAN, Direktur Ekskutif The Fatwa Center
"𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘤𝘢𝘩𝘢𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘰𝘣𝘰𝘳 𝘣𝘦𝘴𝘢𝘳 𝘥𝘪 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘤𝘢𝘩𝘢𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘭𝘪𝘭𝘪𝘯-𝘭𝘪𝘭𝘪𝘯 𝘥𝘪 𝘥𝘦𝘴𝘢." (𝘉𝘶𝘯𝘨 𝘏𝘢𝘵𝘵𝘢).
17 Agustus 2023, kita mengingat-rayakan peristiwa 78 tahun lalu. Bertempat di Pegangsaan Timur, Jakarta, Soekarno dan Hatta, di bawah desakan pemuda, memproklamirkan kemerdekaan Indonesia lepas dari penjajahan bangsa asing yang menguasai wilayah Indonesia.
Peranan pemuda dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia sangatlah penting. Soekarno dan Hatta sendiri berjuang sejak mereka masih begitu muda. Jong Ambon, Jong Batak, Jong Bugis, Jong Minahasa, Jong Jawa, Jong Sumatera, dan organisasi kepemudaan lainnya gigih berjuang memperebutkan kemerdekaan. Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan melalui perjuangan semua kelompok masyarakat, Indonesia menjadi bangsa dan negara merdeka.
Akan tetapi, kemerdekaan sejati bukan sekadar merdeka dari imperialisme bangsa asing, tetapi juga merdeka dari kebodohan, kemiskinan, dan merdeka dari penjajahan bangsa sendiri. Rakyat Indonesia banyak yang memperingati kemerdekaan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan berupa lomba ataupun karnaval keberagaman budaya yang meriah. Semua larut dalam kegembiraan. Namun, seiring waktu berlalu, ingatan atas kemeriahan itu akhirnya memudar dan hilang. Topik kemerdekaan biasanya baru akan muncul lagi pada tahun berikutnya, mendekati Hari Kemerdekaan.
Pembukaan UUD 45 yang menjadi pedoman dasar kita terhadap kemerdekaan menyatakan ‘kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan’. Pembukaan tersebut memang ditulis dalam konteks kebebasan dari penjajahan oleh bangsa lain. Sebuah pertanyaan kemudian muncul. Ketika kita memaknai kata merdeka secara luas, yaitu terpenuhinya harkat kemanusiaan dan kehidupan yang adil seperti yang tercantum dalam pembukaan, apakah rakyat Indonesia saat ini benar-benar sudah merdeka?
Sepertinya kita perlu memaknai kembali arti kata merdeka. Kata merdeka dalam bahasa Indonesia memiliki arti luas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah satu makna dari kata merdeka ialah bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya. Situasi yang terjadi di Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan kebebasan dari penjajahan bangsa asing yang menduduki wilayah Indonesia.
Namun, seperti disampaikan sebelumnya, KBBI juga menyatakan kata merdeka berarti bebas dari perhambaan yang mana manusia bisa menjadi manusia seutuhnya yang terpenuhi hak-hak hidupnya. Dari dua pemaknaan kata merdeka tersebut, sudah saatnya kita memperluas makna kata merdeka ketika kita memperingatinya pada hari kemerdekaan sehingga kita tidak berhenti pada euforia bebas dari penjajahan bangsa lain, tetapi melanjutkannya dengan menyadari dan mempertanyakan apakah kita sudah menjadi manusia merdeka seutuhnya di negeri ini.
Pembukaan UUD 45 memuat beragam kata kunci yang menjadi syarat rakyat Indonesia menjadi manusia yang merdeka seutuhnya, seperti sejahtera, cerdas, dan mendapatkan keadilan, tetapi itu bukanlah situasi yang otomatis terwujud ketika kita merdeka dari penjajahan bangsa asing. Kesejahteraan, kecerdasan, dan keadilan hanya dapat terwujud ketika rakyat Indonesia secara terus-menerus dan bahu-membahu bekerja untuk mewujudkannya dengan tanggung jawab terbesar ada di pundak pemerintah.
Paling krusial dari janji kemerdekaan bangsa ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan itu tidak sekedar cita-cita. Itu adalah janji. Janji itu harus dilunasi. Janji itu dibuat oleh bangsa kita dan kita wajib melunasinya, sehingga ke depan kita dorong peningkatan kualitas pendidikan yang berkelindan dengan peningkatan kesejahteraan guru. Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang merata dan dirasakan semua.
Potensi bangsa Indonesia bukan semata terletak pada kekayaan sumber daya alam melainkan jumlah populasi yang dimilikinya. Persoalannya adalah bagaimana jumlah populasi yang besar itu segera tercerahkan melalui pendidikan. Kekuatan bangsa bergantung pada pendidikan. Kekuatan pendidikan bergantung pada kualitas guru. Pendidik tidak cukup hanya menjadi peran semata. Ia memerlukan tiga hal vital lainnya: panggilan jiwa, profesional, dan memberikan fungsi pelayanan.
Tugas kemerdekaan adalah mewujudkan negara yang dapat mengakomodasi semua kebutuhan itu dan mampu menjalankan fungsi untuk mewujudkannya. Namun, menjalankan tugas itu tidaklah mudah. Ini adalah pekerjaan besar yang sulit, melelahkan, panjang, dan bahkan belum tuntas hingga hari ini. Maka dari itu perlu kita untuk meluruskan jalan satukan tekad untuk menghadirkan keadilan untuk semua.
Secara fisik bangsa ini sudah lepas dari kolonialisme bangsa asing. Problem besar kita adalah bagaimana mengelola Tanah Air demi memajukan kesejahteraan sosial. Pembangunan fisik memang telah dilakukan, tapi manfaat terbesarnya justru di rasakan pihak asing. Dibangunnya jalan tol seharusnya untuk membantu angkutan barang dan orang, tapi volume perdagangan rakyat makin terpinggirkan oleh konglemarasi usaha asing. Begitupun dengan kereta cepat yang lebih melayani kepentingan pemodal dan orang kaya, sehingga yang dirasakan masyarakat saat ini, pembangunan makin lari dari janji kemerdekaan.
Indonesia Merdeka bukan untuk suatu golongan tertentu. Bukan untuk memberi kekuasaan pada golongan tertentu. Indonesia harus menjadi rumah bersama yang dibangun atas dasar semua untuk semua. Janji kemerdekaan yang melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan sosial, dan mencerdaskan kehidupan berbangsa, harus dituntaskan dengan memenuhi kebutuhan dasar rakyat: Sandang pangan, pendidikan, kesehatan, air bersih, gas, dan listrik. Kebutuhan dasar ini harus menjadi fokus utama pembangunan. Bukan malah mengabaikannya dan asik dengan pembangunan proyek berbiaya tinggi dan berbagai event besar yang melayani kaum kapitalis dan orang kaya, yang tidak berkepentingan langsung pada pemenuhan hajat dasar rakyat.
Oleh karena itu, Pemilu tahun depan merupakan kesempatan bagi kita semua untuk menengok kembali arah perjalanan bangsa, menengok apakah tujuan masih di jalan yang benar, karena republik ini didirikan dengan janji dan tujuan untuk menghadirkan keadilan sosial bagi semua.
Pembangunan harus hadir pada semua lapisan dan tingkatan, Dari kota sampai ke desa-desa. Pembangunan tidak hanya di kota besar dan di Pulau Jawa. Desa harus menjadi prioritas, sebab desa adalah tiang pancang tegaknya republik ini. Seperti kata Bung Hatta “Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta, tapi akan bercahaya karena lilin-lilin di desa.”
Pesta demokrasi 2024 mendatang menjadi penentu masa depan Indonesia untuk menuntaskan janji-janji kemerdekaan. Pada titik inilah sangat penting bagi kita agar jeli dalam memilih pemimpin baik yang duduk di eksekutif maupun yang dilegislatif. Sebab, suara yang kita berikan menjadi pertaruhan dalam lima tahun ke depan. Jangan sampai nanti kita kembali mengutuk sejarah karena keliru dan salah memilih. Bagi kita yang beriman, memilih pemimpin bukan semata urusan duniawi, melainkan juga akan kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Wallahu a'lam bishawab.
John Doe
5 days agoLorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. A doloribus odio minus, magnam nisi repellendus aspernatur reiciendis sit dignissimos expedita eius deserunt! Saepe maxime ipsam quo minus architecto at sequi.