Catatan: Didin Maninggara
Penulis Puisi di Sanggar Mayung Mataram Tahun 1970
Langit mendung Ibukota pada 16 Desember 1979 begitu pandai menggoda inspirasiku saat ngopi di Tugu Monas usai meliput berita di Kantor Gubernur DKI Jakarta.
Kugores puisi bercerita ini
buat Kanda Dinullah Rayes, penyair nasional segala zaman yang pada 7 Februari mendatang berusia 86 tahun.
Kukenang hari-hari
kilas balik bersamanya
dalam "cerita perjalanan" Jakarta - Bandung, 45 tahun silam dengan sepotong senyum.
Dinullah Rayes
berkomat-kamit dalam sepi, kutulis di halaman rubrik budaya Koran Pelita, Jakarta, tempatku bekerja sebagai jurnalis pada edisi 19 November 1979.
Tulisan dalam bentuk "puisi esey" merupakan cerita perjalanan kami antara Jakarta-Bandung, singgah rehat di Puncak Pass, Kabupaten Bogor.
Di Bandung, kuajak Dinullah Rayes nonton karnaval drama Cinta Merah Putih di Galeri Gedung Merdeka, persembahan mahasiswa seni yang kuliput sebagai jurnalis.
Liputanku tumpah dalam puisi "Cinta Putih untuk Ni Ketut Witari" temanku buat puisi bareng semasa SMP di Mataram tahun 1970.
Terbayang kembali sukma hati dalam getaran nafas puisi cinta kala itu.
Gumamnya memberi kepastian lewat puisiku "Dalam Tidur Yang Lelap", lalu menjelma asap mimpi, wajah siapa yang senyum itu?
Ni Ketut Witari, entah dimana sekarang?
Masihkah dia berelan vital melalui karya-karya puisinya?
Tapi yang teringat, ketika siang, aku dan dia bersikejaran memburu waktu yang tercecer hari-hari kemarin untuk menulis puisi atau sajak.
Saat malam tiba, aku dan dia bersitatapan mencari kenyamanan batin yang hilang di pabrik kreatifitas di Sanggar Mayung, di bawah pengasuh Maks Arifin dan penyair/ sastrawan nasional Putu Arya Tirtawirya, tempat aku dan Ni Ketut mengasah elan vital menulis puisi.
Wajahnya kulihat senyum lewat jendela kamar kostku di Gomong Lama, Mataram.
Di sini, puisi cinta, tumpah.
Pecah tawa senda anak-anak sekolahan di rantau.
Menyeret hatiku ke jantung pepohonan daun-daun gugur hinggap bayang cinta tembang seruling tanah kelahiran.
Gemetar hatiku dalam desah puisi cinta menjinak hati yang liar berkreativitas.
Singgah di pelabuhan janji kesetiaan, saling menjunjung karya-karya puisi.
Aku pun mengerat tali ikatan berangkat ke negeri wangi kasih.
Dia pun senyum ramah bagai bulan purnama bercahaya.
Dinullah Rayes tersenyum
ketika membaca puisi
"Cinta Putih" ku luluh dalam kalbu.
Kami pun pulang larut malam, bermalam di kamar kost Ganie Selim, yang saat itu kuliah di Seni Rupa IKIP Bandung (kini Universitas Negeri Bandung).
Esok hari kami
kembali ke Jakarta rehat lagi menikmati pesona Puncak, kawasan wisata alam di Bogor.
@Selasa, 16 Januari 2024
John Doe
5 days agoLorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. A doloribus odio minus, magnam nisi repellendus aspernatur reiciendis sit dignissimos expedita eius deserunt! Saepe maxime ipsam quo minus architecto at sequi.